Sebab Engkau Bukan Putra Luqman

Ditulis Maret 12, 2010 oleh halamanrawa
Kategori: Uncategorized

Dia seorang manusia biasa, Nak. Bukan nabi bukan rasul. Tapi Allah SWT memberinya derajat yang diimpikan oleh seluruh ayah di kolong langit ini. Dia memahami hikmah, maqam tertinggi dalam ilmu. Namanya tercantum dalam Al-Quran. Luqman Al Hakim. Luqman yang penuh dengan hikmah.

Nasehat dan petuah Luqman kepada putranya adalah ajaran yang tak lekang oleh zaman. Seringkali jika datang waktu-waktu tenang, aku berusaha mempelajarinya, berusaha memahaminya dengan bekal pengetahuanku yang bahkan semata kaki pun tak sampai. Dangkal. Kamu tahu, Nak, aku ini drop out dari madrasah ibtidaiyah.

Suatu hari, Nak, sewaktu aku masih menjalankan ibadah kuliah di universitas, seorang perempuan menyelipkan pesan di buku catatanku. Dia menulis dengan huruf berukuran besar. “Kalau kamu ingin memahami arti hikmah dan kebijaksanaan, maka janganlah pernah membiarkan dirimu dikuasai oleh wanita. Karena wanita itu adalah seperti perang tanpa perdamaian. Bila dia mencintaimu, maka dia akan memangsamu. Dan bila dia membencimu, maka dia akan membinasakanmu.”

Aku lupa apa yang aku perbuat pada perempuan itu hingga dia memuntahkan kalimat itu.
Tentu saja, ketika membacanya pertama kali aku berpikir siapa gerangan yang membuat pernyataan seksis begini rupa. Belakangan aku baru tahu bahwa itu adalah salah satu nasihat Luqman Al Hakim kepada anaknya, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Luqman Al-Hakim Wahikamuhu karya Al-Allamah Al-Habib Ali bin Hasan bin Abdullah bin Hasan bin Umar Al-Attas Shahibur Ratib Al-Alawi Al-Hadhrami Rahimahullah.

Dan karena dia Luqman Al-Hakim dan aku hanya seorang drop out madrasah, maka aku berhenti mempertentangkannya. Jika bukan karena salah kutip atau salah tafsir, pernyataan itu tentu bukan untuk melecehkan kaum wanita seperti prasangkaku. Luqman pasti telah melewati perenungan mendalam sebelum menetaskan nasehat pars pro toto itu. Tanpa bermaksud menyalahkan kaum wanita yang mulia, tapi mari kita sejenak membenarkan Luqman. Kamu lihat sekarang, Nak, banyak orang yang harus korupsi karena istrinya minta kulkas atau mobil baru. Mari berdoa, semoga kita terhindar dari situasi yang demikian.

Sesungguhnya masih banyak lagi nasehat Luqman untuk anaknya. Tentu tak bisa aku tuliskan semuanya di sini untukmu, melainkan tulisan ini akan jadi ratusan halaman.
Semoga Allah memberi kita banyak kesempatan bersama sehingga bisa mengkaji lebih banyak lagi nasehat Luqman. Tentu dengan keterbatasan pemahamanku, Nak.

Jika boleh menyesali sesuatu, maka aku menyesal tidak sempat belajar banyak ketika aku muda. Ketika otakku masih seperti spons yang bisa menyerap semua. Aku lebih sering kabur ketika ibuku menyuruhku mengaji. Padahal seandainya aku patuh, maka mungkin sekarang aku bisa juga bergelar ustadz. Ustadz Cinta. Hehehe.

Ilmu itu penting, Nak, sehingga seringkali disandingkan dengan iman. Iman tanpa ilmu adalah buta, dan ilmu tanpa iman adalah lumpuh. Ilmu adalah senjata orang berakal. Jangan banyak bicara yang tak perlu, karena banyak bicara yang tak perlu adalah tanda orang tidak berakal. Kecuali kalau kau motivator atau trainer. Engkau boleh banyak bicara, supaya orang jadi bersemangat atau menangis menyesali dosa-dosanya. Dan kau dibayar mahal untuk itu.

Banyak nasehat Luqman, Nak. Tapi tak bisa aku jelaskan demikian rinci. Apalah aku ini, Nak. Aku ini hanya seorang ayah di zaman yang kacau balau. Seringkali aku berkhayal bisa seperti Luqman, mengajakmu ke pasar menuntun keledai dan mempelajari pendapat orang-orang. Tapi jangankan hikmah, pelajaran paling dasar pun seringkali tak bisa aku cerna. Aku ini hanya seorang ayah medioker yang berjuang mati-matian untuk berguna. Sehingga kelak bila ada sesi bercerita di depan kelas, kamu dengan bangga akan bilang kepada teman-temanmu, “Ayahku… Selain ganteng, dia juga keren dan berpikir dirinya Luqman.”

Tapi aku tentu bukan Luqman, Nak. Tak ada Luqman yang sering telat bangun shalat subuh. Tak ada Luqman yang lebih suka duduk di shaf paling belakang saat shalat Jumat. Tak ada Luqman yang sering terkantuk-kantuk saat mendengar khotbah…

Begitulah, Nak. Aku ini hanya seorang ayah akhir zaman yang ingin meniru Luqman. Mencari sesuatu yang bisa kami sebut sebagai kesamaan.

Luqman Al Hakim, orang bijak dalam kitab suci itu berkata kepada anaknya:
Anakku, dirikanlah shalat dan ajaklah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong, dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan, dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. [QS 31:17-19]

Terpisah jarak dan sejarah ribuan tahun, aku pernah dengar Dik Doank, seorang entertainer, berkata kepada anaknya:
“Nak, kecuali apa yang agama larang, bebaskan dirimu memilih jalan!”

Bapakku, laki-laki bersahaja, pensiunan pegawai negeri, berkata kepadaku:
“Kalau kamu memang ingin nakal, nakallah sewajarnya. Tapi kamu jangan merusak sesuatu yang kamu tak bisa ikut memperbaikinya.”

Aku, seorang karyawan swasta seolah-olah jurnalis, berkata kepadamu. Pada titik ini, Nak, aku rasa, tak ada beda aku atau bapakku dengan mereka. Sama-sama ingin melindungi anaknya, seluas kemampuan tangannya.
Tangan. Itulah sesuatu yang sakral, wahai anakku River. Hingga Luqman, setelah serangkaian perjalanannya, berkata kepada anaknya.
“Anakku, aku sudah pernah memikul batu-batu besar, aku juga sudah mengangkat besi-besi berat. Tapi tidak pernah kurasakan sesuatu yang lebih berat daripada tangan yang buruk perangainya.”

Di Pameran Buku

Ditulis Maret 9, 2010 oleh halamanrawa
Kategori: Uncategorized

Di pameran buku tadi, tiba-tiba aku berpikir tentang kekekalan. Sebabnya mungkin karena sebuah judul buku yang sekilas tertangkap mataku saat aku lewati. Tentang surga yang belum tentu kekal. Hufp! Pameran yang ramai. Tapi buku yang aku cari tidak ketemu. Aku datang sehari lebih cepat, rupanya. Buku tentang Muhammad yang ditulis oleh Tasaro GK itu baru mau di-launching besok.

Kekal, Nak. Utopia manusia modern. Manusia tahu itu tak mungkin, tapi mereka tak pernah berhenti mengejarnya. Seperti MJ yang tidur di dalam tabung oksigen murni dan mandi dengan air mineral karena takut terinfeksi kuman yang akan membuatnya mati. Atau Howard Hughes yang enggan bersalaman dengan orang dan selalu dikelilingi lusinan kotak tisu, dengan alasan yang sama.
Toh mereka juga mati pada akhirnya. Mungkin mereka memang tidak pernah berharap bisa kekal. Mereka hanya ingin hidup lebih lama, sebagaimana kita semua.

Lalu untuk apa hidup lama?
Soe Hok Gie pernah menyitir perkataan seorang filsuf, “yang paling beruntung adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda. Dan yang paling sial adalah yang berusia tua.” Sadis. Kenapa gerangan filsuf itu mengidentikkan kesialan dengan usia yang panjang?
Jawabannya bisa jadi ada di sekeliling kita.

Di persimpangan lampu merah, bayi-bayi diterpa panas diajak mengemis. Lelap digendongan entah siapa. Jika kamu sempat melihat mereka, bayi-bayi itu nyaris selalu tertidur seolah tak terganggu oleh panas matahari, lengking klakson dan raungan mesin. Ada yang bilang itu karena mereka memang sengaja dibuat tidur. Cukup dengan dicekoki beberapa buah tablet penurun panas, itu sudah setara obat bius dosis menengah.
Seorang kawan yang skeptis pernah bertanya, jika semua anak yang lahir sudah dibekali rezekinya masing-masing, lantas kenapa mereka ada di jalan? Kenapa mereka harus ikut menanggung derita yang disebabkan oleh orang-orang dewasa sebelum mereka? Adilkah itu?
Kawanku itu akhirnya memutuskan menunda menikah dan memiliki anak sampai dia benar-benar yakin punya bekal cukup untuk anak yang akan dilahirkannya kelak.
Aku sih tidak sebegitunya, Nak. Mudah-mudahan aku dimasukkan dalam golongan orang yang nekat. Aku melamar ibumu dengan modal gaji satu bulan, dan semuanya lancar-lancar saja. Alhamdulillah, kami terberkahi oleh fleksibilitas sistem ekonomi Indonesia, yang memungkinkan kami masih bisa mengutang ke orangtua bila kehabisan duit.

Banyak orang, Nak, yang membuat perasaan sial berbanding lurus dengan usia mereka. Seolah-olah hidup adalah rantai derita yang tak putus-putusnya. Kadang-kadang setiap momen menyakitkan itu mereka beri tanda. Aku pernah bertemu bayi yang diberi nama Gusuriyanto oleh orangtuanya. Dari nama itu kita bisa menebak kejadian apa yang menyertai lahirnya si bayi. Orangtuanya kehilangan tempat tinggal karena tergusur. Miris, Nak.

Kemarin aku ngobrol dengan seorang office boy di kantor. Dia cerita tentang kelahiran anaknya. Proses persalinan istrinya ditolong bidan, tapi tiba-tiba sang istri kehilangan tenaga sebelum sang jabang bayi keluar. Bidan menyerah dan menyarankan istrinya segera dibawa ke rumah sakit untuk operasi.
Mendengar kata operasi, temanku si office boy itu kaget bukan main.
“Paling sedikit dua belas juta itu, Mas!” katanya. “Darimana saya bisa dapat uang sebanyak itu…”
Kekalutannya mengganda. Dia harus memikirkan keselamatan istri dan anaknya, dan sekaligus memutar otak untuk mencari pinjaman.
Dalam kondisi nyaris putus asa, dia lalu berbisik di telinga istrinya yang sudah kepayahan, “Ma, tolonglah berusaha sekali lagi, anak ini harus lahir normal…”
Dibisiki begitu, sang istri seperti mendapat tenaga baru. Temanku itu lalu meminta ke bidan untuk mencoba sekali lagi.
“Saya ikut bantu, Mas, saya pegang paha istri saya kuat-kuat!” katanya.
Singkat cerita, sang bayi akhirnya berhasil dilahirkan. Temanku si OB itu gembira bukan main. Dua belas juta rupiah tak jadi keluar.
Dia pun memberi tanda terima kasih kepada istrinya dengan sesuatu yang sangat mahir dia lakukan, “Saya bikinin teh manis, Mas. Limabelas gelas semuanya! Supaya tenaganya cepat pulih.” Begitu dia mengakhiri ceritanya. Selain aku, ada tiga orang lain yang mendengar ceritanya itu. Dan kami semua tertawa. Entah menertawai apa.

Segala puji bagi Allah. Insya Allah, kita ini keluarga bahagia, Nak, yang tak akan pernah merasa sial. Setelah kau lahir, kami bisa membawamu keluar dari Rumah Sakit dalam keadaan gembira. Ibumu menggendongmu, dan aku mencarikan taksi.

Menjadi Ayah

Ditulis Maret 7, 2010 oleh halamanrawa
Kategori: Uncategorized

Saat itu adalah sore yang hujan. Bandung basah. Mengguyur orang-orang yang pulang kerja. Tukang sapu RS. AL Islam mondar-mandir mengepel lantai lobi yang tak henti berlumpur oleh kaki-kaki orang yang datang. Datang membawa sakit, atau kabar gembira.

Di ruang bayi, Nak, suster Irma membantuku menghitung jari-jarimu. Lengkap. Kamu menangis, telanjang dan kedinginan. Kamis, 25 Februari 2010. 16.35 WIB, kamu akhirnya lahir setelah serangkaian penantian panjang dari bukaan satu yang tidak nambah-nambah selama hampir satu minggu. Kamu lahir menjelang peringatan maulid nabi. Semoga kelak perangaimu menyerupai atau setidaknya mendekati beliau, junjungan kita Muhammad SAW.

Ah, begini toh rasanya menjadi ayah. Roh yang diciptakan bersamaan itu akhirnya hadir sebagai ayah dan anak. Akhirnya kamu menyusulku, meramaikan dunia. Apa lagi yang bisa aku bilang selain takjub? Malu rasanya, Nak, kalau mengingat aku pernah mencoba berpikir agnostik.

Dan setelah 4 hari tertahan di rumah sakit karena kadar bilirubinmu agak tinggi, kamu akhirnya boleh kami bawa pulang ke rumah, dengan syarat kamu harus rajin dijemur di bawah matahari jam 8 pagi. Bilirubin, kata dokter, bikin bayi jadi berwarna kuning.
Di rumah, Nak, ibumu akhirnya bisa memakaikan baju yang sudah lama dia siapkan. Baju mungil yang nyaris hanya sebesar dua telapak tanganku. Lucu. Betapa bahagianya kami. Aku juga bisa iseng-iseng menata rambutmu yang agak lebat untuk ukuran bayi baru lahir.

Lahirmu diramaikan oleh degelan Century dan demo mahasiswa yang rusuh. Di tempatku dulu bersekolah, Nak, mahasiswa-mahasiswa sekarang banyak yang sok jago. Sedikit-sedkit menutup jalan, seolah-olah itu jalan punya mereka. Sedikit-sedikit batu-batu beterbangan. Jika kelak kamu punya rezeki untuk bisa kuliah juga, jangan seperti mereka ya, Nak. Rasulullah mengajarkan kita untuk menyingkirkan duri dari jalanan, bukan menutup dan menghalangi jalan orang lain. Menyatakan pendapat tidak harus seperti itu. Dzalim itu namanya.

Hidup itu harus bermanfaat. Kalau engkau besar nanti, carilah orang-orang yang sering aku ceritakan padamu di sini. Masih ada banyak orang baik di dunia ini, Nak. Orang-orang seperti dr. Joserizal Jurnalis, Butet Manurung, atau Suster Andi Rabiah. Mereka semua adalah orang-orang yang rengkuhan tangannya melebihi lebar bahunya. Dan hatinya melebihi luas lapangan bola yang kau kalikan berapapun.
Tirulah mereka, Nak, dan jangan sekali-sekali kau tiru mereka yang hanya bisa melempar batu.

Jangan berpikir aku mendiktemu. Tidak sama sekali, Nak. Aku sadar zamanmu sudah pasti beda. Mungkin kau akan lebih bahagia atau sebaliknya, yang pasti tugasku untuk mengarahkan jalanmu. Kalau kamu suka, kamu boleh turun ke jalan. Silahkan. Selama tidak kau pecahkan piring nasi orang lain. Rasanya tak adil melarangmu, karena aku juga sudah pernah mengalaminya. Aku pernah kena tendang tentara, dipentung polisi, ditembaki gas air mata. Rasanya tidak enak dan hanya akan membuatmu membenci mereka. Tapi suatu saat kamu juga akan bertemu bagian dari mereka yang baik hati. Di Aceh, aku ditolong oleh tentara, dikasih makan oleh tentara saat aku kehabisan bekal. Temanku yang polisi juga banyak yang baik hati. Dulu ada tetangga kita di kampung, Pak Mariyanto namanya. Waktu aku kecil, beliau suka mengantar kami menyewa video dengan motor Enduro-nya. Akhirnya kau akan mengerti kebaikan dan kedzaliman itu bukan monopoli satu golongan. Seperti halnya mahasiswa juga banyak yang brengsek.

Sini, Nak, aku ceritakan sesuatu padamu. Ini agak vulgar, tapi tak apa-apalah. Tutup kupingmu untuk bagian yang tak sesuai umurmu. Begini ceritanya.

Suatu hari, aku ditugaskan bikin feature personalisasi single mother yang tak menikah sama sekali. Setelah riset dan bertanya kemana-mana, ketemulah satu narasumber yang bersedia bicara, dengan syarat yang “aneh”.
“Saya nggak mau wajah saya digelapin, saya bukan penjahat, saya tak bersalah,” begitu katanya di telpon saat aku membuat janji wawancara dengannya.
Tentu saja aku sepakat. Untuk kasus kayak begini, yang ada biasanya narasumber minta identitasnya dirahasiakan. Yang ini lain.
Dan akhirnya kami menemui dia di rumah kontrakannya di daerah Kemang. Seorang perempuan muda, usainya mungkin dua atau tiga tahun di bawahku. Waktu kami tiba, putrinya masih dalam perjalanan pulang dari rumah kakeknya.

Akhir tahun 2001, dalam keadaan hamil dua bulan dan putus asa karena merasa tidak mungkin menikah, dia dan pacarnya mendatangi klinik aborsi di Paseban.
“Dokternya bilang biayanya sejuta dua ratus, kami cuma bawa sejuta hasil minjem kemana-mana. Kita injek-injekan kaki di bawah meja. Duitnya gak cukup aku bilang. Tapi akhirnya dokternya mau sejuta.”
Perempuan itu mengenang dengan memori yang hampir fotografis.
“Kita nunggu lama, waktu itu kan antriannya panjang. Tiba-tiba dia bilang, ‘jangan [digugurin], ini anak gue’. Terus dia bilang akan ngusahain nikah, bagaimanapun caranya. Ya sudah, kita pulang, duitnya kita ambil lagi setelah dipotong.”

Tapi pernikahan yang dia impikan itu tak pernah terjadi. Laki-laki yang menghamilinya itu melarikan diri dua hari sebelum hari pernikahan yang disepakati.
“Orang rumahnya bilang dia hilang. Aku udah cari dia keliling Jakarta. Dari panas ke hujan, pagi ke malam sampe ini baju kering sendiri. Aku datangin teman-temannya. Gak ada yang tau dia kemana, mungkin diumpetin sama mereka. Mereka bilang perbuatan dia itu bukan tanggung jawab organisasi. Masa mereka ngomong gini, ‘dia nidurin lo itu gak ada dalam keputusan rapat!’. Gila apa!!” katanya setengah meradang.

Sepeninggal laki-laki tak bertanggung jawab itu, beberapa kali muncul godaan untuk kembali ke klinik di Paseban. Tapi kesedihan sudah cukup membuatnya kuat. Juga kemarahan.
“Ada yang nyaranin lagi, tapi aku bilang, aku memang pezinah, tapi bukan pembunuh…”
Dan begitulah, ketika aku menemuinya, putri kecilnya itu sudah berumur 2 setengah tahun, lagi lucu-lucunya, dan belum sekalipun bertemu bapaknya.

Bergeser sedikit. Beberapa tahun sebelumnya, semasa aku masih mahasiswa, puluhan aktivis mahasiswa se-Indonesia berkumpul di kotaku. Aku lupa bagaimana prosesnya, yang pasti kemudian terbentuk sebuah jaringan pergerakan mahasiswa nasional. Karena merasa setujuan, kami semua kenal baik satu sama lain. Kontak-kontak tetap terjaga setiap ada isu krusial yang harus dibahas atau dilawan. Itulah saat zaman romantisme perlawanan masih menggelegak kencang.

Suatu waktu jaringan lokal yang kami bentuk di kampusku hampir ambruk karena perpecahan intern. Jaringan nasional terancam kehilangan satu kakinya. Lalu datanglah seorang kawan, jauh-jauh dari Jakarta. Aku tanya buat apa dia datang sejauh itu hanya untuk membicarakan kelangsungan organisasi yang tak jelas tujuannya. Waktu itu kami mungkin mulai putus asa, regenerasi tidak jalan, dan sebagian teman yang oportunis mulai berlompatan ke partai-partai. Aku masih ingat sekali apa katanya waktu itu.
“Ini bukan persoalan tujuan. Kawan-kawan di Jakarta tahu kalian lagi susah di sini, makanya kami datang. Kalau kalian tanya buat apa, jawabannya sederhana: karena nggak ada sejarahnya kita meninggalkan kawan!”
Begitu katanya, tapi toh kami tetap bubar.
Dan itulah terakhir kali aku bertemu dengan anak muda bertubuh tinggi kurus dan berambut gondrong itu.

Aku tak tahu seperti apa yang dianggapnya “kawan yang tak boleh ditinggalkan” itu. Tapi -tanpa disangka-sangka– aku akhirnya bertemu dengan orang yang dia tinggalkan; bukan kawannya, tapi perempuan yang dulu dia hamili dan kini telah memiliki putri yang di akte kelahirannya tak ada nama bapak.

Kembali ke cerita perempuan yang aku wawancarai itu. Di akhir wawancara, perempuan itu bertanya, “Mas, aku boleh nunjukin ini ke kamera nggak?” Dia mengangkat jari tengahnya. “Siapa tau temanmu itu nonton…”
Aku tidak mengiyakan, tidak juga menggeleng. Aku yakin dia tahu itu tidak akan diperbolehkan di tivi manapun.
Menanggapinya aku hanya tersenyum, getir. Rasanya sempit sekali bumi tempatku berpijak ini.

===
Jadi begitu ceritanya, River. Jika tak jelas ujung pangkalnya, maafkan aku, itu tidak aku sengaja, Nak. Terlalu banyak yang ingin aku ceritakan padamu. Aku hanya berharap kau mengerti maksudku. Sebagai lelaki.
Pantaslah, ketika memberi ucapan selamat atas kelahiranmu, Gola Gong menulis di wall FB-ku.
“Kamu sudah mati sebagai lelaki, Chan. kamu sekarang ayah. Banyak laki-laki yang berubah menjadi pengecut setelah menjadi ayah.”
Iya, Nak. semoga aku tidak pernah menjadi lelaki pengecut. Jika kamu bersedia, peganglah janji kami ini, kami akan membuatmu merasa beruntung telah lahir melalui kami.

Sekolah Kehidupan

Ditulis Maret 7, 2010 oleh halamanrawa
Kategori: Uncategorized

Tuesday, February 23, 2010
Hari-hari belakangan ini adalah hari di mana para orang tua mendapat kesibukan ekstra. Tahun ajaran baru sudah datang, dan anak-anak harus kembali atau mulai bersekolah. Orangtua yang ekonominya pas-pasan bingung harus cari tambahan dana untuk biaya pendaftaran. Sedang orangtua yang ekonominya kuat, bingung menentukan sekolah yang cocok untuk anaknya. Pilihan sungguh terbentang. Mulai dari sekolah berbasis alam yang mengajarkan anak berteman dengan sapi, hingga sekolah bertaraf internasional yang konon berafiliasi ke institusi pendidikan di luar negeri. Semuanya menjanjikan siswanya akan menjadi hebat dan berprestasi.

Sulit rasanya membandingkan situasi bersekolah sekarang dengan zaman kami dulu. Tempo hari, Nak, aku sempat meliput sebuah sekolah TK yang menggunakan metode Montessori. Luar biasa, Nak, bocah-bocah cilik itu sudah diajarkan berbahasa Inggris dan Arab dan sekaligus. Malu rasanya jika mengingat pengalamanku bersekolah TK dulu. Masa sekolah yang aku jalani hanya beberapa hari itu, hanya diisi dengan belajar nyanyi, menyantap bekal, dan main perosotan sepuasnya. Itupun sudah cukup membuatku bosan, dan akhirnya mogok sekolah. Jangan ditiru kami ini, Nak. Itu tidak bagus. Anak-anak sekarang harus berdaya saing tinggi, dan dengan demikian harus dijejali berbagai macam kemampuan yang akan membuatnya unggul. Anak yang pintar dan cerdas tentu akan membanggakan orangtua. Mereka harus punya sesuatu yang bisa dibanggakan orangtua di pertemuan arisan ibu-ibu atau untuk diceritakan di milis-milis.

River, meski kamu belum lahir dan belum waktunya bersekolah, aku juga mulai sibuk, Nak. Jumat malam kemarin aku memburu travel terakhir dari Jakarta karena ibumu tiba-tiba bilang mulai mules. Aku tiba di Bandung lewat dini hari, dan segera naik taksi yang argonya seperti bendi ke Rumah Sakit Al-Islam. Taksi yang aku tumpangi itu, Nak, cukup mahal menurutku, tapi tetap aku kasih lebih karena sopirnya memujiku secara tidak langung dengan mengira aku dokter yang akan bertugas di RS itu. Senang aku, Nak, dibilang mirip dokter sama si sopir taksi…

Dan hari ini, Nak, empat hari setelah aku diburu pulang itu, kamu belum juga lahir. Kata dokter ini jenis bukaan satu yang lama, jadi ibumu disuruh pulang dulu ke rumah menunggu mulas-mulas selanjutnya. Kesempatan menunggu ini kami pergunakan sebaik-baiknya. Jalan-jalan kemana saja, ke BIP, ke Braga, dan lain-lain. Dua malam lalu kami bahkan hampir membawamu menonton konser Tribute to Pearl Jam di Cihampelas Walk. Tapi nggak jadi karena acaranya terlalu malam mulainya, padahal kami sudah nongkrong di depan Score sejak jam 7 lewat. Sebenarnya aku yang nggak tega. Setelah dipikir-pikir, kok agak terasa tidak bertanggung jawab aku ini. Suami macam apa yang tega membawa istrinya yang sedang bukaan satu menonton konser musik grunge atau apalah namanya itu?
Tapi tak apa-apa ya, Nak. Jangan kecewa. Insya Allah nanti kalau kamu sudah lahir dan tumbuh besar, kita samperin konser benerannya Eddie Vedder! Mudah-mudahan Allah kasih kita rezeki lebih untuk bersenang-senang.

Bersenang-senang itu perlu, Nak. Sampai kelak engkau dapat teori yang lebih bagus, ikutilah teoriku ini. Hidup jangan dibikin susah. Kalau tiba saatnya santai, ya harus dibawa santai. Kepada orang lain kita juga harus banyak senyum, jangan suka marah-marah. Senyum itu sedekah. Jadi kita juga bisa beramal sekalipun tak punya uang.

Jadi, begitu, Nak. Apa kataku tadi? Oh ya, bersenang-senang itu perlu. Jadi ingatkan aku nanti, untuk mencarikanmu sekolah yang tidak banyak kasih pe-er. Karena sebenarnya pe-er kita sendiri sudah banyak. Sebagai manusia yang menuntut ilmu di sekolah kehidupan.

Aku punya cerita, Nak. Waktu SD aku punya teman yang buku rapor-nya dijilid dua biji –dijahit dengan benang, saking seringnya tidak naik kelas. Di kelas 6 dia sering jadi bahan tertawaan teman-teman, karena dia yang paling tua di antara kami, tapi tak punya kekuatan apa-apa. Kadang-kadang dia disuruh-suruh apa saja oleh yang lebih muda, dan mau saja melakukannya.

Tapi meski tak sepandai teman-teman yang lain, guru-guru tetap sayang padanya dan berusaha mempertahankan agar dia bisa tetap sekolah. Salah satunya karena dia itu rajin luar biasa. Misalnya dia selalu punya inisiatif untuk membersihkan ruang kelas tanpa harus diperintah. Kalau ada dia, pekerjaan 5K menjadi tidak begitu berat.

Dan begitulah, dalam bergaul sehari-hari, ada saja teman yang sering iseng menambahi sebutan tak beradab di belakang namanya. Mungkin karena namanya pasaran sehingga teman-teman merasa perlu memberi gelar yang identik dengan dirinya, untuk membedakannya dengan yang lain.

Setamat SD, aku hampir tak pernah mendengar kabarnya lagi. Waktu dan dewasa memisahkan kami. Terakhir yang aku ingat, aku melihatnya terpekur di atas sajadah pada suatu malam tarawihan di mesjid kampung kami sekitar tigabelas atau empatbelas tahun yang lalu. Aku lupa apa aku menegurnya saat itu, yang jelas setelah itu aku tak pernah bertemu dia lagi.

Tapi aku masih sering mengingat dia. Terutama jika ada yang berbicara tentang sekolah. Itu karena dia selalu mengingatkanku pada sekolah yang lebih luas dan semesta: sekolah kehidupan.
Mencoba membandingkan diriku dengan temanku itu, membuatku sering merenung lama. Dalam hidup, satu bab pelajaran sering butuh waktu lama untuk memahaminya. Malah sering tak bisa dipahami sama sekali.
Maka aku berpikir, andaikata Sekolah Kehidupan juga membagi-bagikan rapor, mungkin akulah murid yang punya buku rapor dengan jilid paling tebal!

Tadinya Mau Nulis Tentang Ikyu-San Tapi Malah Ngelantur Kemana-mana

Ditulis Februari 17, 2010 oleh halamanrawa
Kategori: Uncategorized

River, inilah yang terjadi malam ini.
Bosku yang baru saja menerima petuah dari bosnya dalam rapat mingguan, mendatangiku yang sedang sibuk main fesbuk. Karena dia bos, tentu saja saya harus memberi atensi padanya dan menelantarkan fesbuk. Beliau duduk sebentar, mengusap-usap kepalanya yang ditumbuhi rambut tipis nyaris semua putih. Aku ingat ikyu-san.
“Kayaknya gue mesti minta turun gaji nih,” katanya tiba-tiba. Menurutku dia bercanda sehingga aku menertawainya. Atau mungkin dia serius tapi sedang menerapkan ilmu logika terbalik.
“Kegedean kayaknya gaji gue buat kerjaan cuma gini doang,” katanya lagi.
Aku menangkap nada ironi. Sesuatu mungkin telah terjadi di perbincangan sebelumnya.
“Ada gitu, Bang, yang kayak gitu?” tanyaku.
“Ada,” katanya.

Lalu dia bercerita tentang Kalifah Umar bin Abdul Aziz.
Sebagai khalifah, Umar menerima gaji dari negara yang dananya diambil dari Baitul Maal, semacam kas negara.
Alkisah pada suatu hari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz mendapati istrinya menyediakan makanan yang beda dari biasanya. Di deretan hidangan, ada sepotong roti yang masih hangat dan harum.
Umar merasa heran dan bertanya kepada istrinya, “Dari mana roti ini?”
Istrinya menjawab bahwa itu buatannya sendiri dan sengaja dia buat untuk Umar.
“Setiap hari engkau sibuk dengan urusan negara dan umat, sesekali apa salahnya menyenangkanmu, wahai Amirul Mukminin,” kata istrinya.
“Berapa uang yang kamu perlukan untuk membuat roti seperti ini?” tanya Khalifah Umar.
“Hanya tiga setengah dirham. Kenapa memangnya?”
“Semua yang masuk ke perutku akan aku pertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Aku perlu tahu asal usul makanan dan minuman yang aku makan,” jawab Khalifah.
Istrinya terdiam.
“Lalu darimana uang yang tiga setengah dirham itu kau dapatkan?” tanya Umar lagi.
“Aku menyisihkan setengah dirham tiap hari dari uang belanja harian rumah tangga kita yang selalu kau berikan kepadaku, jadi dalam seminggu terkumpullah tiga setengah dirham. Itu cukup untuk membuat roti seperti ini,” kata istri Umar.
“Baiklah. Saya percaya asal usul roti ini halal dan bersih. Aku hanya berpikir bahwa itu berarti kebutuhan biaya harian rumah tangga kita harus dikurangi setengah dirham, agar tak mendapat kelebihan yang membuat kita mampu memakan roti yang lezat atas tanggungan umat.”

Kemudian Khalifah memanggil bendahara Baitul Maal dan meminta agar uang belanja harian untuk rumah tangga Khalifah dikurangi setengah dirham.
Lalu kepada istrinya, Khalifah Umar berkata, “Aku akan berusaha mengganti harga roti ini agar hati dan perut kita tenang dari perasaan bersalah karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi.”

Demikian bos-ku bercerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tentu dia tidak berpretensi untuk menyamakan dirinya dengan Umar, karena sesekali dia juga seperti atasan pada umumnya yang punya kekurangan dalam manajerial. Tapi aku bisa menjamin bahwa bos-ku ini seorang yang tawaddu’, rendah hati dan wara’ (berhati-hati).
Suatu hari dia pernah kehabisan pulsa dan harus menelepon istrinya di rumah. Rata-rata kami punya dua handphone, 1 nomer pribadi dan 1 lagi nomer XL yang pulsanya disediakan kantor setiap bulan. Aku lalu meminjamkan salah satu handphone-ku padanya, tapi dia menolak ketika tahu yang aku sodorkan itu handphone bernomer XL fasilitas kantor.
“Ini urusan pribadi,” katanya.
Ketika itu aku merasa cukup malu dan segera mencari pembenaran bahwa kami juga sering menggunakan handphone pribadi kami untuk pekerjaan kantor. Jadi impaslah, begitu hitung-hitunganku. Tapi bos-ku itu tetap menolak. Sungguh, betapa aku sangat beruntung bisa bekerja di bawah supervisinya.

Selain bosku itu, aku juga mengenal seseorang yang benar-benar pernah minta turun gaji. Dia seorang dokter yang bekerja di sebuah klinik swasta. Karena ada urusan pribadi, dia terpaksa tidak bisa masuk beberapa hari dalam sebulan. Pihak manajemen klinik yang selama ini puas dengan pekerjaan dokter muda itu sama sekali tak merasa keberatan dan tidak menerapkan pemotongan gaji.
Suatu hari sang dokter muda menghadap kepada direktur klinik. Sang direktur yang mengira dokter muda itu ingin meminta kenaikan gaji, dibuat terkejut karena sang dokter justru minta gajinya dikurangi.
“Bulan ini hari kerja saya berkurang. Saya tidak berhak untuk gaji sebesar bulan sebelumnya,” katanya.

Sang direktur sangat terpukau oleh si dokter muda itu, dan berandai-andai sekiranya dia masih punya anak gadis maka akan dia nikahkan dengan dokter muda tersebut.

Begitulah. Cerita ini benar adanya, River, kecuali bagian di mana sang direktur berniat menikahkan anaknya dengan si dokter. Itu karanganku saja supaya kau merasa terhibur.

Hal yang aku ceritakan padamu ini, Nak, mari kita beri nama integritas. Integritas tak bisa diwariskan, tapi bisa diajarkan atau ditularkan. Belajarlah dari siapa saja. Mungkin dari kami, bila kelak masih ada sisa yang kami punya untukmu. Kamu tahu, Nak, betapa susahnya menjaga integritas di zaman seperti sekarang.

Tapi percayalah, Nak, Allah Maha Menjaga. Selalu dikirimkan-Nya kepadamu orang-orang yang bisa kau pegang juntai jubahnya. Orang-orang yang bisa memberi tameng tangan ketika api lilinmu hampir padam. Orang-orang seperti bosku itu.

Malam ini bosku itu bertahan di kantor karena hujan dan dia tak bisa pulang. Demikian pula aku yang berpikir untuk apa memaksa pulang ke rumah karena toh kau dan ibumu ada di Bandung.
Setelah perbincangan tadi, bosku minta izin tidur duluan, di bawah meja komputer. Karena dia bosku, aku meminjamkan sleeping bag-ku. Tak apa-apa. Aku ikhlas. Dia sudah tua, kasihan. Aku belum tidur karena masih harus mengerjakan naskah sambil “korupsi” menulis catatan ini di komputer kantor. Aku sebenarnya bawa laptop tapi Wi-fi sedang lemot. Jadi termaafkanlah ini menurut versiku. 🙂

Cepatlah lahir, Nak. Dan segeralah kau temui orang-orang. Sebagian orang mungkin akan mengecewakanmu, dan sebagian lagi akan memenuhi ekspektasimu. It’s ok. Itulah hidup, kata Ned Kelly.
Mari berjuang. Dalam hidup, setidaknya ada satu orang yang akan rela mati untuk seseorang yang lain.
Dan yakinlah, Nak, kamu punya. Aku.

Dia Bukan Lagi Alay

Ditulis Februari 15, 2010 oleh halamanrawa
Kategori: Uncategorized

River, tadi malam aku termenung di semacam balkon di lantai 2, dan tak terhalang pandanganku hingga ke pelataran lobi. Di situ sedang ada acara tapping (rekaman) program musik. Performernya The Dance Company, D’ Masiv, dan seorang artis cewek yang aku gak tahu namanya. Sebelumnya Slank sudah tampil live untuk episode yang berbeda.

Apa yang ingin kuceritakan padamu ini bukan tentang artis yang tampil atau lagu-lagu mereka. Yang ingin aku ceritakan adalah penonton-penontonnya, yang mungkin sering engkau lihat berjoget dengan gerakan yang tak terlalu seragam, dan dengan itu engkau pasti menduga itu baru saja dilatih atau dilatih tapi kurang serius. Ya, karena mereka memang bukan dancer profesional seperti Agnes punya. Mereka pada umumnya adalah remaja-remaja yang tinggal di sekitar gedung kantor, atau tinggal jauh tapi sengaja didatangkan oleh talent agen seperti Mpok Elly.
Setiap kali ada tapping atau live acara-acara musik, remaja-remaja seperti mereka berdatangan, menyemut di pelataran lobi atau dekat air mancur. Kadang-kadang mereka juga berbaur dengan mahasiswa-mahasiswa berjaket almamater yang datang untuk bertepuk tangan di acara talkshow Tukul atau semacamnya.

Mereka datang dengan dandanan yang nyaris serupa, baju ketat dan celana pensil serta aksesoris yang mencolok. Bisa jadi itu pakaian terbaiknya. Di kantor, teman-teman menyebut mereka alay. Aku tak tahu pasti apa sebenarnya alay itu. Ada yang bilang itu singkatan “anak layangan”, dipakai untuk menyebutkan segerombolan ABG-ABG yang tak jelas juntrungannya. Semakin ke sini, sebutan alay itu makin mengerucut. Alay cewek sering diidentikkan dengan dandanan yang norak, kerjanya hanya gosipin cowok ganteng, dan kalau nulis sms pake gabungan huruf dan angka yang bisa bikin pening guru Bahasa Indonesia. Sedang alay cowok sering disamakan dengan maho, cowok kebanci-bancian yang rela melakukan apa saja asal disorot kamera. Mereka benar-benar ada. Muncul dari banyak tempat, seperti dari gang-gang sempit di belakang tembok pagar kantor.

Ada yang datang karena memang nge-fans dengan grup band yang tampil, tapi pada umumnya mereka datang karena dibayar. Mereka memang dbayar, biasanya 30 hingga 50 ribu satu kali tapping. Itulah honor mereka untuk berjoget tanpa malu-malu.

Dan yang aku lihat tadi malam itu cukup memukau. Sebaris alay berbaris mepet ke panggung. 5 orang. 4 cowok dan 1 cewek yang –maafkan– agak susah membedakannya dari jauh. Gerakannya seragam dan berulang-ulang. Dua kali tangan diputar ke atas, dua kali ke kiri bawah, dan dua kali ke kanan bawah. Kadang dikasih improvisasi seperti orang menarik tali atau menggoyangkan saputangan imajinatif. Itu mereka lakukan sepanjang lagu. Bahkan untuk lagu melow seperti milik D’Masiv, mereka tetap menerapkan gerakan yang sama.
“Merusak lagu!” gerutu seorang teman yang menemaniku di balkon itu.
Teman itu tidak sendiri. Aku tahu ada banyak orang yang tak simpatik pada mereka. Seorang temanku yang necis dan parlente, jelas-jelas bilang jijik pada mereka.

Sejauh ini aku tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap mereka. Aku menulis ini karena kawan-kawan di program tempatku mencari nafkah duniawi berencana untuk mengangkat fenomena alay ini. Secara pribadi aku tidak bersepakat. Hal terakhir yang akan aku lakukan adalah menghakimi orang lain, dan aku tak membayangkan diriku akan sampai pada tahap itu.

Tadi pagi, pulang kantor setelah semalaman menjaga editan, di pelataran lobi aku berpapasan lagi dengan kumpulan penonton alay-alay itu. Sebagian sepertinya sisa penonton-penonton acara tadi malam. Mereka mungkin menunggu taping program Derings, acara musik yang host-nya Sandra Dewi yang sentosa. Di dekat taman kurma yang sering menjadi tempat mereka nongkrong, aku menangkap sekilasan percakapan. Seorang alay cewek tampak memegang-megang perut seorang temannya.
“Hei, masih dateng aja, kasian bayinya tuh!” katanya. Wanita yang dipegang-pegang perutnya itu rupanya sedang hamil. Aku ingat istriku tiba-tiba. Ibumu yang kian tak sabar menanti kau lahir, Nak. Di Palasari, Bandung, sana.

Inikah alay itu? Inikah mereka yang oleh kami sering distereotipekan hanya mencari kesempatan untuk populer dengan menjadi groupies kacangan? Mungkin kami salah. Atau aku yang salah. Di kilatan mata perempuan yang baru dielus perutnya itu, aku melihat semacam usaha untuk kompromi dengan penderitaan. Dengan janin di dalam perutnya itu, apakah yang membawanya ke sini? Suara vokalis yang mewek2 kah? Bisa jadi bukan. Uang 35 ribu rupiah, mungkin.

Dan tadi siang, saat berangkat kembali ke kantor untuk menunaikan tugas lanjutan. Di gang sebelum kantor, aku berjalan di belakang seorang perempuan yang sering aku lihat ada di antara kerumunan penonton-penonton alay itu. Tapi kali ini dia tidak sedang menjadi alay. Pakaiannya bukan yang sering dia pakai saat menonton acara-acara musik. Aku lihat ada sedikit lubang di dekat kerah bajunya. Mungkin baju lungsuran dari entah siapa. Baju yang dipakainya itu adalah seragam kerja cleaning service di kantor di gedung baru sebelah kantorku.

Dia memakainya dengan bangga. Dia bukan lagi alay, sehingga kami bisa berhenti memandangnya dengan tatapan seolah-olah tengkorak kepala kami lebih tinggi dari dia.

Tentang Seorang Lelaki

Ditulis Februari 13, 2010 oleh halamanrawa
Kategori: Uncategorized

Saturday, February 6, 2010

Kelak, ingatkan aku untuk selalu mengulang menceritakan ini padamu. Karena aku tak akan pernah bosan, dan –aku yakin– kamu juga tak akan bosan. River, ini kisah tentang seorang lelaki pemberani, yang aku harap akan kamu tiru semangatnya seperti halnya aku berusaha melakukannya. Kisah tentangnya aku mulai dari lembaran sebuah buku, di mana dia menulis:

“seorang lelaki harus berani mengusir ketakutan
ketakutan untuk berbuat salah
ketakutan untuk berbicara salah
dan seorang perempuan harus berani memiliki jiwa lelaki
berani mendampingi gelisah lelaki
berani untuk tidak takut kehilangan lelaki”

Suatu kali dia pernah mengayuh sepedanya melintasi sejumlah negara di Asia. Setiap kali bertemu orang yang heran melihatnya mengendarai sepeda dengan satu tangan, dia selalu menjawab, “satu tangan oleh saya, satu ‘tangan’ lagi oleh Tuhan.”
Iya, River, tak seperti kita, lelaki yang aku ceritakan padamu ini hanya memiliki satu tangan yang kasat mata. Sebuah kecelakaan di masa kecilnya telah membuat lengan sebelah kirinya diamputasi sebatas siku. Tapi satu tangan yang hilang itu tak membatasinya. Dia bahkan pernah menjadi juara badminton.

Lelaki yang aku ceritakan padamu ini juga telah menulis banyak buku, termasuk sepuluh seri kisah perjalanan yang fenomenal. Aku menyebutnya kitab para pejalan. Buku-buku itulah yang membuatku menjadi pejalan. Aku membawa buku-bukunya ketika meninggalkan rumah pertama kali 14 tahun lalu. Dan hingga kemarin, aku mendengar ada seorang anak muda lagi terkena “kutukan” buku itu. Seorang remaja dari Karanganyar menempuh perjalanan ratusan kilometer hanya untuk bertemu dengan sang penulis. Bayangkan, Nak, seorang anak muda merasa perlu menggerakkan kakinya karena buku yang diterbitkan belasan tahun sebelum dia lahir. Aku membayangkan, mungkin itulah yang dirasakan oleh orang-orang yang membaca Ibn Batutah atau Codex Calixtinus, ratusan tahun sebelum kita.

Singkat cerita, Nak, lelaki yang aku ceritakan padamu ini kini tak lagi berpetualang. Ransel yang pernah dia bawa berkeliling dunia itu sudah dia lelang untuk membantu korban tsunami Aceh beberapa tahun yang lalu. Dia sudah berhenti berjalan. Suatu kali dia pernah bilang, “berhenti menjadi lelaki. Kini saatnya untuk belajar menjadi suami dan ayah.”

Selesai, dia bilang. Tapi bagiku, dia tak pernah selesai menjadi lelaki. Dia tetap lelaki pemberani.
Tadi pagi, aku melihatnya berada di tengah-tengah keluarganya, merayakan ulangtahun ke-12 anak pertamanya. Di rumahnya yang teduh dan terbuka untuk siapa saja, dia memberi wejangan kepada anak gadisnya yang beranjak dewasa itu. Sama sekali tak ada yang mewah dalam perayaan ulangtahun itu. Hanya ada kue dan beberapa gelas minuman dingin. Yang membuatnya mewah adalah kegembiraan dan kasih sayang di antara mereka.
“Mama hampir meninggal lho waktu melahirkan Bella,” katanya mengingatkan si sulung. “Kepalamu sudah keluar tapi tiba-tiba masuk lagi…”

Aku tersedak. Baru kali ini aku mendengar petuah ulang tahun seperti itu. Tapi aku tak heran. Dia memang jenis lelaki yang tidak gampang kita temui di sembarang tempat. Pikirannya kuantum dan kohesif. Seperti halnya aku dibuat termangu saat dia menanggapi ucapan seorang kawan yang mempersoalkan feng shui rumahnya. Menurut sang kawan, rumah yang ditempatinya itu tak bagus feng shuinya. Rezeki yang datang akan bablas hingga ke belakang.
Lalu apa jawabnya?
“Tak apa-apa,” katanya, ” Biarin bablas ke belakang selama masih ada orang lain yang menerimanya.”
Kamu tahu, Nak, di belakang rumahnya itu dia membangun tempat belajar dan menyediakan ribuan buku untuk dibaca oleh anak-anak di sekitar rumahnya. Sebuah gudang ilmu tak ternilai yang dia bangun dari nol bersama istrinya.

“Sini peluk ayah, Nak, dulu suka meluk, sekarang jarang…” katanya lagi menggoda putrinya.
“Malu..” kata putrinya merajuk. Aku tersenyum melihatnya.
Aku menduga inilah putri yang pernah dia bikinkan puisi “Mencari Pelagi”.

kini giliranmu menikmati dunia
barangkali akan lebih keras menderita
atau lebih gembira

tapi tak kan kujanjikan kamu
bisa bermain-main air hujan
karena mencari pelangi
adalah siksaan tak terperi

kini giliranmu menikmati hidup
walau yang kuwariskan adalah jejak-jejakku
silahkan kamu mencarinya sendiri
kini giliranmu menikmati semuanya

pesanku: berilah ibumu kado pelangi
karena kami rindu hujan!

Aku takjub pada caranya memelihara cinta. Di sekitar meja tempat kue brownies tanpa lilin itu ditaruh, dia dikelilingi oleh seorang istri dan empat anak yang beruntung.
Juga seorang calon ayah yang sedang menyerap pelajaran.

Calon ayah itu adalah aku, River, yang tak sabar menanti kau lahir. Belasan hari lagi. Yang bisa aku lakukan kini adalah berjalan sejauh mungkin dan mengambil saripati kehidupan dari orang-orang, termasuk dari lelaki yang aku ceritakan padamu ini.

Aku tahu aku tak akan pernah penuh seperti lebah memiliki madu. Aku hanya berharap suatu hari nanti aku bisa bilang padamu: “Ada banyak cinta yang menunggumu di sini, Nak.”

Jangan Hujan Malam Ini

Ditulis Februari 3, 2010 oleh halamanrawa
Kategori: Uncategorized

Nak, tadinya aku berharap hujan turun lagi malam ini. Gerah rasanya seharian tadi. Mungkin karena aku lumayan banyak berkeringat. Dua kali rit ke kantor. Rit kedua naik sepeda. Rit pertama tadi yang jalan kaki, ke kantor lalu ke Pasar mampang terus ke tukang jahit untuk memperbaiki baby carrier. Itu baby carrier untukmu, Nak. Aku ke tukang jahit untuk menguatkan jahitan kancingnya, supaya kuat menyangga tubuhmu nanti. Kata Bu Dokter tadi, beratmu sekarang sudah 3,4 kilogram, dan sudah masuk ke jalan lahir. Alhamdulillah, sejauh ini baik dan normal saja.

Tadi kunjungan terakhir kami ke Dokter Sri Pudiastuti di Jakarta Medical Centre. Besok kita akan ke Bandung, Nak, beramai-ramai. Ibumu ingin melahirkan kamu di sana, biar dekat dengan ibunya, katanya. Biasalah, perempuan, mereka selalu merasa lebih aman bila dekat dengan ibunya. Tak apa-apa ya, Nak. Bandung juga keren kok di akta kelahiran. Setidaknya lebih keren daripada tempat lahirku: Watampone. Di mana itu? Jauh dan sering tidak ditulis di peta Indonesia. Kamu akan tahu kelak bila masih ada pelajaran Geografi di sekolahmu.

Tadi sama dokter Sri, kami minta didoakan. Minta didoakan semoga semuanya lancar. Dokter Sri itu baik, meski agak kaku. Setidaknya selama 8 bulan periksa dan konsultasi kehamilan ke dia, kami tak pernah ada kesulitan. Dokter Sri selalu kasih harapan-harapan baik yang tentu saja penting untuk psikologi ibu hamil. Kalau aku bilang agak kaku, ya mungkin itu perasaanku saja. Mungkin aku sedikit subjektif karena pernah ditolak waktu aku minta nomer handphone-nya. Tapi its ok kok. Kami bisa memakluminya.

Bubar periksa, kami tidak langung pulang, Nak. Aku dan ibumu singgah dulu nongkrong di tukang kerak telor yang mangkal di depan Rumah Sakit JMC. Selama 8 bulan mondar-mandir ke JMC, baru kali itu kami melihatnya.
“Sering kehalang mobil…” katanya waktu aku tanya kenapa baru melihatnya di situ. Namanya Pak Rahmat, dan seperti kepada tukang-tukang kerak telor lainnya, aku memanggilnya Babe. Bertahun-tahun dia berjualan di pojok parkiran RS. JMC itu. Jika parkiran penuh, Babe akan semakin tak terlihat. Malam tadi tak terlalu ramai, jadi kami bisa leyeh-leyeh. Ibumu duduk di tembok pagar, aku duduk di besi pembatas ban. Babe Rahmat duduk di antara kami, sambil mengipas-ipas tungkunya.

Sebelum berjualan di sini, Babe berjualan di Monas. Di Monas dia berhenti setelah ongkos angkutan dari rumahnya di Pejaten Barat semakin mahal, dan rematik mulai mendera badannya.
Bila rematiknya kambuh, “Sakitnya terasa sampai di sini,” kata Babe sambil menunjuk bagian perutnya. Dia bukannya tidak mencoba berobat. Babe bahkan pernah memeriksakan diri ke dokter JMC, tapi tidak banyak perubahan. Tubuh 68 tahun itu mungkin sudah susah bereaksi dengan obat apapun.

Babe bercerita soal sakitnya atau soal hari-hari di mana tak ada satupun pembeli, semuanya dengan ekspresi yang sama. Tersenyum. Itu benar-benar senyum. Senyum yang sama seperti saat dia bercerita tentang cucu-cucunya. Babe Rahmat tak pernah sinis terhadap kehidupan, rupanya.

Aku tiba-tiba ingat bapakku almarhum. Bapakku juga murah senyum. Seumur hidupku, tak pernah aku berhasil tahu kapan dia mengalami masa-masa sulit. Semua masalah dilaluinya dengan senyum, kadang disertai lelucon-lelucon garing yang membuat kami merasa berdosa bila tidak ikut tertawa.
Aku rindu cerita-cerita bapakku. Demi Allah, andai kamu bisa melihatku sekarang, Nak, mataku basah saat menulis ini…

Ironis ya, Nak. Bapakku yang selalu mengajarkanku arti tertawa riang justru lebih sering aku ceritakan dengan haru biru. Itu karena aku merasa berutang sangat banyak padanya. Utang tak terbayar sebagai konsekuensiku memilih jalan pedang ini. Halah! 🙂

Kenapa aku tulis ini, sederhana saja sebabnya. Aku ingin kelak engkau bisa mengenangku seperti aku mengenang bapakku. Berilah aku waktu untuk belajar. Seperti bapakku, aku ingin jadi ayah yang baik, yang tak pernah menyentuhkan kulit tangannya ke badan anaknya dalam keadaan marah. Apakah lagi yang lebih berarti bagi seorang pria selain saat ketika anaknya dengan ikhlas menulis “I’m just a happy kid”, dan istrinya menulis “I’m a happy wife”. Subhanallah. I so wish this would happen to me, Son!

Jadi begitulah, Nak. Tadinya aku berharap hujan turun malam ini. Hingga tadi, sebelum aku bertemu tukang kerak telor di depan Rumah Sakit JMC itu. Babe Rahmat yang tanpa henti mengipasi tungku dan berkali-kali meminta maaf karena telah membuat kami menunggu, telah mengajari kami satu lagi sudut pandang kebahagiaan.
Dia guru kami malam ini. Dan sungguh sangat tak berterima kasihlah kami jika mengharapkan hujan turun. Babe Rahmat masih akan di sana hingga tengah malam. Tanpa atap.
Adapun kami yang berharap turun hujan, seringkali hanya menginginkan romansa dan sedikit melankoli.

Allah Menjawab Semua Doa, Hanya Saja Kadang-kadang Jawaban-Nya Adalah ‘Belum’ dan ‘Tidak’

Ditulis Januari 18, 2010 oleh halamanrawa
Kategori: Uncategorized

Nak, selalu ada masa-masa sulit yang harus dilewati dalam hidup. Masa-masa sulit itu sering kita beri nama macam-macam. Kadang kita sebut dia cobaan, ujian, musibah, atau azab. Tergantung sejauh mana kita melihat dan menyetujuinya. Pernah suatu kali saya hampir meninggalkan sebuah shalat Jumat hanya karena khotibnya bilang tsunami di Aceh dan gempa di Padang itu adalah azab, hukuman. Saya tidak sepakat ,dan jika bukan karena terpaksa, saya berniat mencari masjid lain yang khotbahnya tidak menggeneralisir seenaknya seperti itu.
Maafkan saya, ya Allah. Mungkin itu benar. Tapi siapalah kita ini, merasa bisa menentukan dan menilai penderitaan orang lain?
Saya ingat seorang anak kecil yang terhimpit di tengah antrian makanan di Aceh, setelah tanah mereka rata oleh tsunami 26 Desember 2004. Saya ingat ibu kawan saya yang tinggal di tenda di Padang Sago setelah gempa 30 September 2009. Demi Allah, tak sedikitpun saya berani bilang mereka menanggung azab. Ya Allah, dengan segala kebodohan yang saya miliki, ijinkan saya untuk tak sepakat dengan dia yang berjubah wangi dan berdiri di mimbar itu.

Ada seorang da’i terkenal yang pernah bilang, “Ini ujian bagi saya”. Yang dia maksud dengan ujian adalah kondisi ketika dia harus beristri dua dan disorot publik dan dihujat jemaahnya yang tidak setuju. Ada juga seorang bintang sinetron yang berujar serupa. Tapi yang dia maksud dengan ujian adalah wajahnya yang tampan yang membuatnya dikejar-kejar cewek-cewek ABG dan alay-alay.
Di lain kesempatan, ada seorang haji kaya raya yang dengan entengnya bilang, “Kekayaan yang saya miliki ini adalah ujian dari Allah”. Teman saya yang pengamen menimpali, “Kalau ujiannya kaya raya, semua orang juga pengen diuji, Pak Haji…”

Nak, saya sama sekali tidak berpretensi untuk menjelaskan padamu apa itu cobaan, ujian, musibah, atau azab. Saya juga bukan semacam moderator diskusi yang sering merasa sok tahu untuk menyimpulkan apa-apa yang sudah kita bicarakan sebelumnya. Kawan saya yang suka menyederhanakan masalah itu bilang, “Apapun jenisnya, mari kita sepakat menyebutnya masa sulit. Mau ujian kek, cobaan kek, azab kek, sebut saja tough days!

Sebenarnya, Nak, saya menulis ini karena saya merasa juga sedang mengalami masa-masa sulit. Di luar kondisi bahwa kita harus selalu bersyukur pada apa yang terjadi, kadang kita memang tidak bisa selalu berpura-pura menjadi Rambo. Kadang-kadang kita ini Rinto, ST12, suka mewek…
Saya pun dengan sangat tak tahu diri menyebut situasi yang sedang saya alami ini sebagai masa-masa sulit. Padahal ini tak ada sepersejutanya dari penderitaan yang dirasakan oleh, misalnya, ibu kawan saya di Padang Sago itu.

Untuk menulis ini pun, saya harus mengesampingkan nasehat Buya Hamka yang pernah bilang, berbahagialah dengan apa yang kau punyai, dan yang tidak kau punyai.
Mungkin itulah masalahnya, Nak. Jakarta tak pernah membiarkanmu untuk bahagia dengan sesuatu yang tidak kau punyai. Di Jakarta, kita dibuat tak pernah puas dengan pemenuhan kebutuhan dasar saja. Kota ini selalu membuat kita ingin lebih. Entah kenapa, saya merasa orang-orang hanya melihat kita dari apa yang kita punya. Bukan dari apa yang tidak kita punyai. Tak pernah saya mendengar ada yang bilang, “Gila! Lo keren banget ya.. gak punya Blackberry!”.

Nak, insya Allah, sekitar sebulan lagi kamu lahir. Kamu tahu, di usia kehamilan ibumu yang memasuki delapan bulan ini, saya sering dihinggapi rasa bersalah. Jangan kau ragukan, saya selalu ingin yang terbaik untukmu dan ibumu. Saya sudah berusaha cari duit mati-matian, tapi entah kenapa yang terjadi adalah saya selalu merasa usahaku itu tidak cukup keras. Tidak cukup kuat untuk menembus batu Chin mi. Ini masalahku, Nak. Seorang dosen yang menurutku lebih cocok jadi motivator pernah memberi kuliah, “Bagilah semangatmu menjadi dua, masing-masing 50 persen. Setelah itu, dua semangat 50 persen itu kamu jadikan masing-masing 100 persen. Sekarang kamu punya 200 persen semangat!” Begitu katanya, Nak. Matematika apa itu! Hehehe..

Nak, aku selalu berharap kelak kamu akan mendapatkan guru agama yang baik. Guru agama yang selalu mengingatkan dan meyakinkanmu bahwa Allah tidak tidur. Gusti Allah ora sare, kata teman-teman kami yang orang Jawa.

Oya, Nak, untuk sementara, saya tak membiarkan ibumu naik angkot. Jadi kemana-mana kami membawamu naik taksi. Bukannya mau riya, tapi kami kalau naik taksi kami suka kasih lebihan Rp5000 sampai Rp10000 ke sopir taksinya. Dan kemarin itu, saya dapat jawaban lagi kenapa sampai sekarang belum bisa membeli mobil untuk ibumu.
Ada yang datang di mimpiku, Nak, dan dia bilang kami masih harus jadi perantara rezeki sopir taksi itu, melalui lebihan yang sering kami kasih itu. Rezeki mereka masih ada di saluran kami.

Jadi, Nak. Allah itu benar-benar tidak tidur. Allah menjawab semua doa. Hanya saja kadang-kadang jawabannya adalah Belum dan Tidak.

Didiklah Ayahmu Sejak Kau Masih Dalam Kandungan

Ditulis Januari 11, 2010 oleh halamanrawa
Kategori: Uncategorized

Dalam sejumlah nasehat, teori, maupun buku-buku, banyak ajaran yang sering disampaikan kepada para calon orangtua yang sedang menanti kelahiran buah hatinya. Salah satunya adalah: “didiklah anakmu sejak dia masih dalam kandungan”.
Bentuk pendidikan itu ada banyak macam. Mulai dari yang ilmiah-metodik hingga yang abstrak-transendental (ini kata asal comot saja, supaya kedengaran keren).
Contoh yang ilmiah-metodik adalah, kaum ibu biasanya mulai memperdengarkan musik klasik kepada calon bayinya. Komposisi nada dalam musik klasik ini –biasanya gubahan Mozart- dipercaya selaras dengan ritme kondisi lingkungan bayi di dalam perut ibunya. Dengan demikian bayi konon akan menjadi tenang dan damai.
Di awal-awal kehamilannya, istriku juga ikut-ikutan cara ini. Alhasil, headphone Philips-ku pun aku relakan untuk ditekuk-regangkan mengikuti anatomi perutnya. Tak apa. Ini demi River. Kalau misalnya saya ada duit lebih, headphone Sennheiser pun akan aku belikan untuk mendapatkan kualitas suara yang standar broadcast.

Adapun ibuku, sejak tahu istriku hamil, langsung menyuruhku banyak-banyak shalat, berdoa, dan mengaji. Salah satu surah dalam Al-Quran yang sering dianjurkan untuk dibaca saat menanti kelahiran bayi adalah surah Maryam dan Surah Yusuf. Pengharapannya jelas, jika kelak dia lelaki akan setampan Nabi Yusuf, dan apabila dia wanita maka akan secantik dan setangguh Maryam. Nah, ini salah satu contoh teknik abstrak-transendental.

Tambahan. Dalam sebuah buku tebal yang kami baca, pada minggu kehamilan ke-sekian, orangtua dianjurkan untuk mulai berbicara dengan sang janin. Pada minggu tersebut, sang calon bayi diperkirakan sudah bisa mendengar dan belajar mengenali suara ayah ibunya.
Demikianlah sekilas mengenai pendidikan pra-lahir ini. Intinya, seperti yang saya sebutkan di awal tadi, adalah mendidik seorang anak sejak dia masih dalam kandungan. Subhanallah. Betapa mulianya…

Sebagai calon ayah yang baik, saya pun selalu berusaha untuk menjalankan semua yang disarankan oleh para cerdik-pandai dan tetua tersebut. Tentu saja itu tidak mudah. Teori-teori pengasuhan tentu saja banyak berasal dari pengalaman empiris. Tapi, sekali lagi, selalu ada kemungkinan teori-teori tersebut bersifat kasuistik. Untuk si Svetlana cocok, belum tentu cocok untuk Asep. Demikian pula sebaliknya. Seorang pakar psikologi perkembangan bahkan pernah bilang, “Sebelum punya anak, saya punya LIMA teori tentang cara mengasuh anak. Tapi setelah itu apa yang terjadi? Saya punya LIMA anak yang tak punya teori.” Nah lho!

Orangtua zaman sekarang wajib berterimakasih karena sudah banyak pelajaran yang telah diajarkan oleh para pendahulu. Kahlil Gibran misalnya, dengan lantangnya dia bisa bilang:

“Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri

Engkau bisa memberikan rumah bagi raganya, tapi bukan bagi jiwanya
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok,
yang tak pernah dapat engkau kunjungi bahkan dalam mimpimu sekalipun…”

Atau ajaran yang disampaikan oleh Dorothy Law Nolte, seorang penyair Amerika dalam aforismanya yang termasyhur, Children Learn What They Live.


Anak belajar dari Kehidupannya.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
JIka anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Dalam sebuah shirah zaman nabi, ada seorang ibu yang memarahi anaknya karena sang anak tanpa sengaja mengencingi baju Rasulullah Muhammad SAW. Rasulullah pun menegurnya dengan bijak, “Noda di pakaianku ini dapat segera hilang tapi tidak demikian dengan luka hati anakmu.”

Di kisah yang lain, khalifah Umar Ibnu Khattab pernah dibuat heran oleh perilaku seorang sahabatnya. Sahabat ini dikenal sebagai seorang jago perang yang berperawakan gagah. Bahkan untuk menjaga citra kegagahan dan kegarangannya, dia tak pernah mencium anaknya. Umar pun menegurnya.
“Bagaimana mungkin engkau dapat dikatakan beriman? Bukankah Allah sendiri mencintai kelembutan? Aku sendiri mencium anak-anakku. Rasulullah pun amat menyayangi anak-anak dan cucunya. Bahkan ia rela memanjangkan sujudnya ketika shalat karena sang cucu bermain-main di punggungnya.”

Saya juga mengenal seorang pria yang menurutku sangat memenuhi kriteria kejantanan. Dia seorang legenda pendaki gunung. Di masa mudanya dia pendiri sebuah kelompok pecinta alam kampus terkenal. Ratusan gunung dan medan sudah dijajalnya. Namanya Herman Lantang. Suatu kali saya mengajak istriku –waktu itu masih belum istri, masih penjajakan ceritanya– main ke rumah Herman Lantang. Bang Herman –begitu dia selalu ingin disapa– menyambut kami dengan baik. Saya yang terobsesi dengan Soe Hok Gie dapat banyak cerita dari Bang Herman, termasuk detik-detik terakhir saat Soe Hok Gie meninggal di pangkuannya.
Saat kami sedang asyik ngobrol, obrolan kami dijeda oleh kedatangan dua orang anaknya yang baru saja pulang entah dari mana. Errol dan Cernan namanya. Errol gagah dan gondrong. Cernan agak gempal. Umurnya sekitar 20-an. Jauh lebih muda dari saya.
Ada satu pemandangan yang membuatku takjub. Begitu masuk rumah, Errol dan Cernan bukannya langsung ke dalam tapi singgah dulu mencium pipi ayahnya!
Aku takjub karena membandingkan mereka dengan diriku sendiri. Saat seusia mereka, maukah saya singgah mencium pipi bapak saya saat dia sedang menerima tamu?
Saya bahkan lupa kapan terakhir mencium pipi Bapak semasa hidupnya…

Di jalan pulang dari rumah Bang Herman itu, saya bilang ke Desanti, “saya ingin anakku kelak tak malu mencium pipi ayahnya, sekalipun ia gondrong dan bandel”. Saya bilang “anakku” bukan “anak kita” karena waktu itu Desanti masih menimbang-nimbang untuk menerima saya sebagai calon suaminya. Alhamdulillah sekarang dia sudah jadi istriku dan sedang mengandung anak pertama kami. Insya Allah, River namanya.

Jadi begitulah. Sejak tahu River ada di perut istriku, saya mencoba mengingat-ingat kembali pelajaran-pelajaran kecil namun berharga yang mungkin tercecer atau terlupa. Ada banyak. Dari rupa-rupa orang dan tempat. Dari Kahlil Gibran hingga Herman Lantang.

Menanti kelahiran River buat saya seperti men-daras bacaan lagi. Mengulang pelajaran tentang hidup. Saya beruntung bisa memasuki fase hidup ini; menjadi suami dan, insya Allah, seorang ayah. Saya tahu ada jutaan orang di luar sana yang berjuang untuk sekadar menjadi suami atau ayah, sementara ada sejumlah orang lain yang melalaikannya. Ada banyak suami yang menyakiti hati istrinya, dan ada ayah yang tega meletakkan anaknya di atas rel kereta api hingga kaki sang anak putus terlindas.

Menjadi ayah itu seperti madrasah. Seorang lelaki yang tahu dirinya akan segera menjadi ayah, akan belajar untuk menekan egonya. Mengabaikan nafsunya pada sepatu boot Oakley, speaker Bose, Bike Friday, atau teleskop Sky-watcher…

Belakangan ini, saya semakin jago, saya tak pernah lagi telat meletakkan tangan di perut istriku setiap kali River bergerak. Mungkin karena River sudah semakin besar sehingga gerakannya juga sudah semakin lama dan sering. Di saat-saat seperti itu, semakin terasa kecilnya kami sebagai manusia. Sebuah detak kecil saja bisa membuat kami meneteskan airmata saking bahagianya…
Ya Allah, mahluk mungil yang Kau titipkan itu, telah mendidik kami untuk bersyukur, bahkan sejak dia masih dalam kandungan.

Lalu, menjadi ayah itu seperti tetirahan. Tempat istirahat setelah perjalanan panjang dan melelahkan. Seperti Anhony Swofford, seorang marinir Amerika, sepulangnya dari bertugas di Irak menulis sebuah memoar yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama, Jarhead.
Ceritanya panjang, tapi di bagian akhir dia menulis:

A story.
A man fires a rifle
for many years…
and he goes to war.

And afterwards
he comes home…
and he sees that
whatever else he might do
with his life…

build a house…
love a woman…
change his son’s diaper…